Prinsip Ketaktentuan dan Sifat Gelombang dari
Elektron
2.2.1 Sifat Gelombang dari Elektron
Seperti telah dikemukakan dalam Bab I, radiasi cahaya dapat dianggap sebagai
arus foton atau sebagai gerak gelombang. Berdasarkan pendapat ini, maka pada
tahun 1923 de Broglie mengemukakan bahwa dualisme yang sama terdapat pula dalam
hal elektron. Menurut teori relativitas dari Einstein, energi suatu partikel
dinyatakan sebagai:
E = mc
2
(2-1)
m ialah massa partikel dan c
2 ialah kecepatan cahaya. Dengan
menggunakan hubungan E = hv, didapat mc
2 = hv = hc/λ, sehingga untuk
foton:
λ = h/mc = h/p (2-2)
p ialah momentum. De Broglie kemudian mengemukakan bahwa sifat
gelombang-partikel dari radiasi dapat diterapkan terhadap elektron, karena
elektron hampir sekecil foton. Untuk elektron berlaku:
λ = h/mv = h/p (2-3)
v ialah kecepatan elektron. Panjang gelombang dari partikel yang dihitung
dengan jalan ini disebut panjang gelombang de Broglie. Sifat gelombang dari
materi seperti yang dikemukakan oleh de Broglie kemudian dibenarkan oleh
Davidson dan Germer dalam tahun 1928, yang mendapatkan pola difraksi dari
elektron dengan menjatuhkan sinar pada suatu bidang dari kristal nikel.
Dengan adanya gerak gelombang dari elektron, maka diperlukan suatu teori
kuantum yang baru, yang selain dapat menerangkan gerak elektron dalam atom dan
menghitung energi yang mungkin, juga dapat memperhitungkan efek difraksi.
2.2.2. Prinsip Ketaktentuan Heisenberg
Dengan adanya teori gelombang dari elektron, maka kedudukan elektron sekeliling
inti tak tertentu. Hal ini tercakup dalam
Prinsip Ketaktentuan Heisenberg.
Dalam tahun 1927 Heisenberg menunjukkan, bahwa nilai sepanjang pengamatan khas
tak dapat ditentukan secara simultan dengan ketelitian tinggi. Contohnya adalah
pasangan momentum dan kedudukan, dan pasangan energi dan waktu. Batas dalam
ketelitian pengukuran fisik tertentu dinyatakan oleh hubungan:
∆q . ∆p
> ħ/2 (2-4)
∆E . ∆t
> ħ/2 (2-5)
ħ = h/2π; ∆q, ∆p, ∆E, ∆t ketaktentuan adalah berturut-turut dari kedudukan,
momentum, energi dan waktu. Karena nilai ħ kecil, maka ketaktentuan ini tak
dapat diamati untuk benda besar, tetapi sangat berarti bagi elektron, atom, dan
molekul. Jadi ketaktentuan dari kedudukan elektron akan membawa serta
ketaktentuan dalam momentum, sesuai dengan persamaan (2-4). Kedudukan dan
momentum dari elektron memberikan informasi mengenai kebolehjadian menemukan
elektron di sekeliling inti.
Keterbatasan dalam pengukuran tingkat energi elektron dalam atom dapat
ditunjukkan sebagai berikut. Andaikan atom tereksitasi mengemisi radiasi
elektromagnetik dan berpindah ke tingkat yang lebih stabil, maka atom-atom ini
berumur panjang dan garis spektrumnya tajam. Bila atom tereksitasi berumur
pendek, maka radiasi elektromagnetik mencakup daerah yang lebar dan garis
kurang tajam. Nilai ketaktentuan ∆t lebih kecil dan ∆E besar karena perhubungan
dengan ∆v lewat persamaan ∆E = h/∆v.
2.2.3. Sifat Gelombang
Konsep kebolehjadian dapat diterapkan pada pola difraksi elektron.
cincin-cincin difraksi adalah daerah dengan kebolehjadian yang tinggi. Rapat
elektron berbanding lurus dengan kuadrat faktor amplitudo yang didapat dari
persamaan gelombang. Sifat khas gerak gelombang adalah kemampuannya untuk
meneruskan energi dari satu titik ke titik lain tanpa perpindahan permanen dari
mediumnya. Gelombang ini disebut
gelombang progresif (Gb. 2.1).
Suatu persamaan gelombang dinyatakan sebagai berikut:
∂
2/∂x
2 = 1/c
2 ∂
2ϕ/∂r
2
(2-6)
dimana ϕ = a sin 2π (x/λ – vt), v adalah frekuensi, a adalah nilai maksimum
dari amplitudo, c adalah kecepatan perambatan. Persamaan (2-6) adalah linier,
maka dengan
Prinsip Superposisi dua persamaan dengan ϕ
1 dan
ϕ
2 dapat dikombinasi linier. Untuk gelombang ϕ
1 dan ϕ
2:
∂
2ϕ
1/∂x
2 = 1/c
2 ∂
2ϕ
2/∂t
2
dan ∂
2ϕ
2/∂x
2 = 1/c
2 ∂
2ϕ
2/∂t
2
Kombinasi linier menghasilkan:
∂
2(a
1ϕ
1 + a
2ϕ
2)/ ∂x
2
= a
1 ∂
2ϕ
1/∂x
2 + a
2 ∂
2ϕ
2/∂x
2
= 1/c
2 {a
1 ∂
2ϕ
1/∂t
2 +
a
2 ∂
2ϕ
2/∂t
2} = 1/c
2 ∂
2(a
1ϕ
1
+ a
2ϕ
2)/ ∂x
2
(2-7).
Prinsip superposisi ini sekarang digunakan untuk vibrasi tali gitar antara
dua titik tertentu atau dua titik mati. Untuk gelombang progresif dari kiri ke
kanan persamaan gelombangnya:
ϕ
1 = a sin 2π (x/λ – vt) (2-8)
setelah mencapai ujung, gelombang direfleksi dan berjalan kembali dari kanan
ke kiri dengan persamaan gelombang:
ϕ
2 = a sin 2π (x/λ – vt) (2-9)
Gerak gelombang total dinyatakan dengan persamaan:
ϕ = ϕ
1 + ϕ
2 = a sin 2π (x/λ – vt) + a sin 2π (x/λ +
vt) (2-10).
Untuk
gelombang tegak atau
gelombang stasioner, bila ϕ =
0, maka sin 2π x/λ = 0, yaitu bila:
2πx/λ = nπ dan x =
nλ/2
(2-11).
n ialah bilangan bulat (Gb. 2.1).
Gelombang stasioner dapat menggambarkan gerak gelombang dari elektron
sekeliling inti dalam atom. Agar terjadi interferensi konstruktif dari
gelombang de Broglie dengan elektron dalam lintasan Bohr, maka harus dipenuhi
hubungan:
2πr =
nλ
(2-12).
Substitusi persamaan (2-3) ke dalam persamaan (2-12) menghasilkan:
Mvr = n h/2π; n = 1, 2, 3, … (2-13). n ialah
bilangan kuantum utama. Hasilnya sama dengan yang diturunkan oleh Bohr.
(Sumber: Noer Mansdsjoeriah Surdia. (1993) Ikatan dan Struktur Molekul.
Dikbud. Hal: 25-28).
Teori orbital molekul
Teori orbital
molekul (Bahasa Inggris: Molecular orbital tehory),
disingkat MO, menggunakan kombinasi linear orbital-orbital atom untuk
membentuk orbital-orbital molekul yang menrangkumi seluruh molekul. Semuanya
ini seringkali dibagi menjadi orbital ikat, orbital antiikat, dan
orbital bukan-ikatan. Orbital
molekul hanyalah sebuah orbital Schrödinger yang melibatkan
beberapa inti atom. Jika orbital ini merupakan tipe orbital yang
elektron-elektronnya memiliki kebolehjadian lebih tinggi berada di antara
dua inti daripada di lokasi lainnya, maka orbital ini adalah orbital ikat dan
akan cenderung menjaga kedua inti bersama. Jika elektron-elektron cenderung
berada di orbital molekul yang berada di lokasi lainnya, maka orbital ini
adalah orbital
antiikat dan akan melemahkan ikatan. Elektron-elektron yang berada
pada orbital bukan-ikatan cenderung berada pada orbital yang paling dalam
(hampir sama dengan orbital atom), dan
diasosiasikan secara keseluruhan pada satu inti. Elektron-elektron ini tidak
menguatkan maupun melemahkan kekuatan ikatan.
[sunting] Perbandingan antara teori ikatan valensi dan teori orbital
molekul
Pada beberapa bidang, teori
ikatan valensi lebih baik daripada teori orbital molekul. Ketika diaplikasikan
pada molekul berelektron dua, H2, teori ikatan valensi, bahkan
dengan pendekatan Heitler-London yang paling sederhana, memberikan pendekatan energi ikatan yang lebih
dekat dan representasi yang lebih akurat pada tingkah laku elektron ketika
ikatan kimia terbentuk dan terputus. Sebaliknya, teori orbital molekul
memprediksikan bahwa molekul hidrogen akan berdisosiasi menjadi superposisi
linear dari hidrogen atom dan ion hidrogen positif dan negatif. Prediksi ini
tidak sesuai dengan gambaran fisik. Hal ini secara sebagian menjelaskan mengapa
kurva energi total terhadap jarak antar atom pada metode ikatan valensi berada
di atas kurva yang menggunakan metode orbital molekul. Situasi ini terjadi pada
semua molekul diatomik homonuklir dan tampak dengan jelas pada F2
ketika energi minimum pada kurva yang menggunakan teori orbital molekul masih
lebih tinggi dari energi dua atom F.
Konsep hibridisasi sangatlah
berguna dan variabilitas pada ikatan di kebanyakan senyawa organik sangatlah
rendah, menyebabkan teori ini masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kimia organik. Namun, hasil kerja Friedrich Hund, Robert
Mulliken, dan Gerhard Herzberg menunjukkan bahwa teori
orbital molekul memberikan deskripsi yang lebih tepat pada spektrokopi,
ionisasi, dan sifat-sifat magnetik molekul. Kekurangan teori ikatan valensi
menjadi lebih jelas pada molekul yang berhipervalensi (contohnya PF5)
ketika molekul ini dijelaskan tanpa menggunakan orbital-orbital d yang sangat
krusial dalam hibridisasi ikatan yang diajukan oleh Pauling. Logam kompleks dan
senyawa yang kurang
elektron (seperti diborana)
dijelaskan dengan sangat baik oleh teori orbital molekul, walaupun penjelasan
yang menggunakan teori ikatan valensi juga telah dibuat.
Pada tahun 1930, dua metode
ini saling bersaing sampai disadari bahwa keduanya hanyalah merupakan
pendekatan pada teori yang lebih baik. Jika kita mengambil struktur ikatan
valensi yang sederhana dan menggabungkan semua struktur kovalen dan ion yang
dimungkinkan pada sekelompok orbital atom, kita mendapatkan apa yang disebut
sebagai fungsi gelombang interaksi konfigurasi penuh. Jika kita mengambil
deskripsi orbital molekul sederhana pada keadaan dasar dan mengkombinasikan
fungsi tersebut dengan fungsi-fungsi yang mendeskripsikan keseluruhan kemungkinan
keadaan tereksitasi yang menggunakan orbital tak terisi dari sekelompok orbital
atom yang sama, kita juga mendapatkan fungsi gelombang interaksi konfigurasi
penuh. Terlihatlah bahwa pendekatan orbital molekul yang sederhana terlalu
menitikberatkan pada struktur ion, sedangkan pendekatan teori valensi ikatan
yang sederhana terlalu sedikit menitikberatkan pada struktur ion. Dapat kita
katakan bahwa pendekatan orbital molekul terlalu ter-delokalisasi,
sedangkan pendekatan ikatan valensi terlalu ter-lokalisasi.
Sekarang kedua pendekatan
tersebut dianggap sebagai saling memenuhi, masing-masing memberikan
pandangannya sendiri terhadap masalah-masalah pada ikatan kimia. Perhitungan
modern pada kimia kuantum
biasanya dimulai dari (namun pada akhirnya menjauh) pendekatan orbital molekul
daripada pendekatan ikatan valensi. Ini bukanlah karena pendekatan orbital
molekul lebih akurat dari pendekatan teori ikatan valensi, melainkan karena pendekatan
orbital molekul lebih memudahkan untuk diubah menjadi perhitungan numeris.
Namun program-progam ikatan valensi yang lebih baik juga tersedia.
Ikatan
dalam rumus kimia
Bentuk atom-atom dan
molekul-molekul yang 3 dimensi sangatlah menyulitkan dalam menggunakan teknik
tunggal yang mengindikasikan orbital-orbital dan ikatan-ikatan. Pada rumus molekul, ikatan kimia (orbital yang
berikatan) diindikasikan menggunakan beberapa metode yang bebeda tergantung
pada tipe diskusi. Kadang-kadang kesemuaannya dihiraukan. Sebagai contoh, pada kimia organik, kimiawan biasanya hanya
peduli pada gugus fungsi
molekul. Oleh karena itu, rumus molekul etanol dapat ditulis secara konformasi,
3-dimensi, 2-dimensi penuh (tanpa indikasi arah ikatan 3-dimensi), 2-dimensi
yang disingkat (CH3–CH2–OH), memisahkan gugus fungsi dari
bagian molekul lainnnya (C2H5OH), atau hanya dengan
konstituen atomnya saja (C2H6O). Kadangkala, bahkan
kelopak valensi elektron bukan-ikatan (dengan pendekatan arah yang digambarkan
secara 2-dimensi) juga ditandai. Beberapa kimiawan juga menandai
orbital-orbital atom, sebagai contoh anion etena−4 yang
dihipotesiskan (\/C=C/\ −4)
mengindikasikan kemungkinan pembentukan ikatan.
Ikatan kuat kimia
Panjang ikat dalam pm
dan energi ikat dalam kJ/mol.
Panjang ikat dapat dikonversikan menjadi Å
dengan pembagian dengan 100 (1 Å = 100 pm).
Data diambil dari [1].
|
Ikatan
|
Panjang
(pm)
|
Energi
(kJ/mol)
|
|
H–H
|
74
|
436
|
H–C
|
109
|
413
|
H–N
|
101
|
391
|
H–O
|
96
|
366
|
H–F
|
92
|
568
|
H–Cl
|
127
|
432
|
H–Br
|
141
|
366
|
|
C–H
|
109
|
413
|
C–C
|
154
|
348
|
C=C
|
134
|
614
|
C≡C
|
120
|
839
|
C–N
|
147
|
308
|
C–O
|
143
|
360
|
C–F
|
135
|
488
|
C–Cl
|
177
|
330
|
C–Br
|
194
|
288
|
C–I
|
214
|
216
|
C–S
|
182
|
272
|
|
N–H
|
101
|
391
|
N–C
|
147
|
308
|
N–N
|
145
|
170
|
N≡N
|
110
|
945
|
|
O–H
|
96
|
366
|
O–C
|
143
|
360
|
O–O
|
148
|
145
|
O=O
|
121
|
498
|
|
F–H
|
92
|
568
|
F–F
|
142
|
158
|
F–C
|
135
|
488
|
Cl–H
|
127
|
432
|
Cl–C
|
177
|
330
|
Cl–Cl
|
199
|
243
|
Br–H
|
141
|
366
|
Br–C
|
194
|
288
|
Br–Br
|
228
|
193
|
I–H
|
161
|
298
|
I–C
|
214
|
216
|
I–I
|
267
|
151
|
|
C–S
|
182
|
272
|
Ikatan-ikatan berikut adalah
ikatan intramolekul yang mengikat atom-atom bersama menjadi molekul. Dalam pandangan yang sederhana dan
terlokalisasikan, jumlah elektron yang berpartisipasi dalam suatu ikatan
biasanya merupakan perkalian dari dua, empat, atau enam. Jumlah yang berangka
genap umumnya dijumpai karena elektron akan memiliki keadaan energi yang lebih
rendah jika berpasangan. Teori-teori ikatan yang lebih canggih menunjukkan
bahwa kekuatan ikatan
tidaklah selalu berupa angka bulat dan tergantung pada distribusi elektron pada
setiap atom yang terlibat dalam sebuah ikatan. Sebagai contohnya, karbon-karbon
dalam senyawa benzena dihubungkan satu sama lain oleh ikatan
1.5 dan dua atom dalam nitrit oksida NO
dihubungkan oleh ikatan 2.5. Keberadaan ikatan
rangkap empat juga diketahui dengan baik. Jenis-jenis ikatan
kuat bergantung pada perbedaan elektronegativitas dan
distribusi orbital elektron yang tertarik pada suatu atom yang terlibat dalam
ikatan. Semakin besar perbedaan elektronegativitasnya, semakin besar
elektron-elektron tersebut tertarik pada atom yang berikat dan semakin bersifat
ion pula ikatan tersebut. Semakin kecil perbedaan elektronegativitasnya,
semakin bersifat kovalen ikatan tersebut.
ORBITAL
HIBRIDA PADA KARBON
Dalam kimia,
hibridisasi adalah sebuah konsep
bersatunya
orbital-orbital atom membentuk
orbital hibrid
yang baru yang sesuai dengan penjelasan kualitatif sifat ikatan atom. Konsep
orbital-orbital yang terhibridisasi sangatlah berguna dalam menjelaskan bentuk
orbital
molekul dari sebuah
molekul. Konsep ini adalah bagian tak terpisahkan dari
teori ikatan valensi. Walaupun kadang-kadang
diajarkan bersamaan dengan
teori VSEPR, teori ikatan valensi dan hibridisasi
sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan teori VSEPR
Hibrid sp3
Hibridisasi menjelaskan atom-atom yang berikatan dari sudut pandang sebuah
atom. Untuk sebuah karbon yang berkoordinasi secara tetrahedal (seperti metana,
CH
4), maka karbon haruslah memiliki orbital-orbital yang memiliki
simetri yang tepat dengan 4 atom hidrogen. Konfigurasi
keadaan dasar karbon adalah
1
s2 2
s2 2
px1 2
py1
atau lebih mudah dilihat:
C
↑↓ 1 s ↑↓ 2 s ↑ 2 p x ↑ 2 p y 2 p z {\displaystyle C\quad {\frac {\uparrow
\downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow \downarrow }{2s}}\;{\frac {\uparrow
\,}{2p_{x}}}\;{\frac {\uparrow \,}{2p_{y}}}\;{\frac {\,\,}{2p_{z}}}}
(Perhatikan bahwa orbital 1
s memiliki energi lebih rendah dari
orbital 2
s, dan orbital 2
s berenergi sedikit lebih rendah dari
orbital-orbital 2
p)
Teori ikatan valensi memprediksikan,
berdasarkan pada keberadaan dua orbital
p yang terisi setengah, bahwa C
akan membentuk dua
ikatan kovalen, yaitu CH
2. Namun,
metilena
adalah molekul yang sangat reaktif (lihat pula:
karbena), sehingga teori ikatan
valensi saja tidak cukup untuk menjelaskan keberadaan CH
4.
Lebih lanjut lagi, orbital-orbital keadaan dasar tidak bisa digunakan untuk
berikatan dalam CH
4. Walaupun eksitasi elektron 2
s ke orbital
2
p secara teori mengizinkan empat ikatan dan sesuai dengan teori ikatan
valensi (adalah benar untuk O
2), hal ini berarti akan ada beberapa
ikatan CH
4 yang memiliki energi ikat yang berbeda oleh karena
perbedaan aras tumpang tindih orbital. Gagasan ini telah dibuktikan salah
secara eksperimen, setiap hidrogen pada CH
4 dapat dilepaskan dari
karbon dengan energi yang sama.
Untuk menjelaskan keberadaan molekul CH
4 ini, maka teori
hibridisasi digunakan. Langkah awal hibridisasi adalah eksitasi dari satu (atau
lebih) elektron:
C
∗ ↑↓ 1 s ↑ 2 s ↑ 2 p x ↑ 2 p y ↑ 2 p z
{\displaystyle C^{*}\quad {\frac {\uparrow \downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow
\,}{2s}}\;{\frac {\uparrow \,}{2p_{x}}}{\frac {\uparrow \,}{2p_{y}}}{\frac
{\uparrow \,}{2p_{z}}}}
Proton yang membentuk inti atom hidrogen akan menarik salah satu elektron
valensi karbon. Hal ini menyebabkan eksitasi, memindahkan elektron 2s ke
orbital 2p. Hal ini meningkatkan pengaruh inti atom terhadap elektron-elektron
valensi dengan meningkatkan potensial inti efektif.
Kombinasi gaya-gaya ini membentuk fungsi-fungsi matematika yang baru yang
dikenal sebagai orbital hibrid. Dalam kasus atom karbon yang berikatan dengan
empat hidrogen, orbital 2
s (orbital inti hampir tidak pernah terlibat
dalam ikatan) "bergabung" dengan tiga orbital 2
p membentuk
hibrid
sp3 (dibaca
s-p-tiga) menjadi
C
∗ ↑↓ 1 s ↑ s p 3 ↑ s p 3 ↑ s p 3 ↑ s p 3
{\displaystyle C^{*}\quad {\frac {\uparrow \downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow
\,}{sp^{3}}}\;{\frac {\uparrow \,}{sp^{3}}}{\frac {\uparrow \,}{sp^{3}}}{\frac
{\uparrow \,}{sp^{3}}}}
Pada CH
4, empat orbital hibrid
sp3 bertumpang
tindih dengan orbital 1
s hidrogen, menghasilkan empat
ikatan
sigma. Empat ikatan ini memiliki panjang dan kuat ikat yang sama, sehingga
sesuai dengan pengamatan.
![Sebuah representasi skematis orbital-orbital hibrid yang tumpang tindih dengan orbital s hirdogen](file:///C:\Users\Acer\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.png)
sama dengan
![Bentuk tetrahedal metana](file:///C:\Users\Acer\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.png)
Sebuah pandangan alternatifnya adalah dengan memandang karbon sebagai anion
C
4−. Dalam kasus ini, semua orbital karbon terisi:
C
4 − ↑↓ 1 s ↑↓ 2 s ↑↓ 2 p x ↑↓ 2 p y ↑↓ 2 p z {\displaystyle C^{4-}\quad {\frac
{\uparrow \downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow \downarrow }{2s}}\;{\frac
{\uparrow \downarrow }{2p_{x}}}{\frac {\uparrow \downarrow }{2p_{y}}}{\frac
{\uparrow \downarrow }{2p_{z}}}}
Jika kita menrekombinasi orbital-orbital ini dengan orbital-
s 4
hidrogen (4 proton, H
+) dan mengijinkan pemisahan maksimum antara 4
hidrogen (yakni tetrahedal), maka kita bisa melihat bahwa pada setiap orientasi
orbital-orbital
p, sebuah hidrogen tunggal akan bertumpang tindih
sebesar 25% dengan orbital-
s C dan 75% dengan tiga orbital-
p C.
HaL ini sama dengan persentase relatif antara s dan p dari orbital hibrid
sp3
(25%
s dan 75%
p).
Menurut teori hibridisasi orbital, elektron-elektron valensi metana
seharusnya memiliki tingkat energi yang sama, namun
spektrum fotoelekronnya
[3]
menunjukkan bahwa terdapat dua pita, satu pada 12,7
eV
(satu pasangan elektron) dan saty pada 23 eV (tiga pasangan elektron).
Ketidakkonsistenan ini dapat dijelaskan apabila kita menganggap adanya penggabungan
orbital tambahan yang terjadi ketika orbital-orbital
sp3
bergabung dengan 4 orbital hidrogen.
Hibrid sp2
Senyawa karbon ataupun molekul lainnya dapat dijelaskan seperti yang
dijelaskan pada metana. Misalnya
etilena (C
2H
4) yang memiliki ikatan
rangkap dua di antara karbon-karbonnya. Struktur Kekule metilena akan tampak
seperti:
Ethene Lewis Structure. Each C bonded to two hydrogens and
one double bond between them.
Karbon akan melakukan hibridisasi
sp2 karena
orbtial-orbital hibrid hanya akan membentuk ikatan sigma dan satu
ikatan pi
seperti yang disyaratkan untuk
ikatan
rangkap dua di antara karbon-karbon. Ikatan hidrogen-karbon memiliki
panjang dan kuat ikat yang sama. Hal ini sesuai dengan data percobaan.
Dalam
hibridisasi sp2, orbital 2
s hanya
bergabung dengan dua orbital 2
p:
C
∗ ↑↓ 1 s ↑ s p 2 ↑ s p 2 ↑ s p 2 ↑ p
{\displaystyle C^{*}\quad {\frac {\uparrow \downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow
\,}{sp^{2}}}\;{\frac {\uparrow \,}{sp^{2}}}{\frac {\uparrow \,}{sp^{2}}}{\frac
{\uparrow \,}{p}}}
membentuk 3 orbital
sp2 dengan satu orbital p tersisa.
Dalam etilena, dua atom karbon membentuk sebuah ikatan sigma dengan bertumpang
tindih dengan dua orbital
sp2 karbon lainnya dan setiap
karbon membentuk dua ikatan kovalen dengan hidrogen dengan tumpang tindih
s-
sp2
yang bersudut 120°. Ikatan pi antara atom karbon tegak lurus dengan bidang
molekul dan dibentuk oleh tumpang tindih 2
p-2
p (namun, ikatan pi
boleh terjadi maupun tidak).
Jumlah huruf
p tidaklah seperlunya terbatas pada bilangan bulat,
yakni hibridisasi seperti
sp2.5 juga dapat terjadi. Dalam
kasus ini, geometri orbital terdistorsi dari yang seharusnya. Sebagai contoh,
seperti yang dinyatakan dalam
kaidah Bent, sebuah ikatan
cenderung untuk memiliki huruf-
p yang lebih banyak ketika ditujukan ke
substituen yang lebih
elektronegatif.
Hibrid sp
Ikatan kimia dalam senyawa seperti
alkuna dengan
ikatan rangkap tiga dijelaskan dengan
hibridisasi sp.
C
∗ ↑↓ 1 s ↑ s p ↑ s p ↑ p ↑ p {\displaystyle
C^{*}\quad {\frac {\uparrow \downarrow }{1s}}\;{\frac {\uparrow
\,}{sp}}\;{\frac {\uparrow \,}{sp}}{\frac {\uparrow \,}{p}}{\frac {\uparrow
\,}{p}}}
Dalam model ini, orbital 2
s hanya bergabung dengan satu orbital-
p,
menghasilkan dua orbital
sp dan menyisakan dua orbital
p. Ikatan
kimia dalam
asetilena
(etuna) terdiri dari tumpang tindih
sp-
sp antara dua atom karbon
membentuk ikatan sigma, dan dua
ikatan pi
tambahan yang dibentuk oleh tumpang tindih
p-
p. Setiap karbon
juga berikatan dengan hidrogen dengan tumpang tindih
s-
sp
bersudut 180°.
Hibridisasi dan bentuk molekul
Hibridisasi membantuk kita dalam menjelaskan bentuk molekul:
Jenis molekul
|
Utama kelompok
|
|
AX2
|
- Linear
(180°)
- hibridisasi
sp
- E.g.,
CO2
|
- Tekuk
(90°)
- hibridisasi
sd
- E.g.,
VO2+
|
AX3
|
- Datar
trigonal (120°)
- hibridisasi
sp2
- E.g.,
BCl3
|
- Piramida
trigonal (90°)
- hibridisasi
sd2
- E.g.,
CrO3
|
AX4
|
- Tetrahedral
(109.5°)
- hibridisasi
sp3
- E.g.,
CCl4
|
- Tetrahedral
(109.5°)
- hibridisasi
sd3
- E.g.,
MnO4−
|
AX5
|
-
|
- Piramida
persegi (73°, 123°)[5]
- hibridisasi
sd4
- E.g.,
Ta(CH3)5
|
AX6
|
-
|
- Prisma
trigonal (63.5°, 116.5°)[5]
- hibridisasi
sd5
- E.g.,
W(CH3)6
|
Secara umum, untuk sebuah atom dengan orbital s dan p yang membentuk hibrid
h
i dengan sudut
θ {\displaystyle \theta } , maka
berlaku: 1 +
λ {\displaystyle \lambda } i λ
{\displaystyle \lambda } j
cos(
θ {\displaystyle \theta } ) = 0. Rasio
p/s untuk hibrid i adalah
λ {\displaystyle \lambda } i2,
dan untuk hibrid j
λ {\displaystyle \lambda } j2.
Dalam kasus khusus hibrdid dengan atom yang sama, dengan sudut
θ
{\displaystyle \theta } , persamaan
tersebut akan tereduksi menjadi 1 +
λ {\displaystyle \lambda } 2
cos(
θ {\displaystyle \theta } ) = 0. Sebagai
contoh, BH
3 memiliki geometri datar trigonal, sudut ikat 120
o,
dan tiga hibrid yang setara. Maka 1 +
λ {\displaystyle \lambda } 2
cos(
θ {\displaystyle \theta } ) = 0 menjadi
1 +
λ
{\displaystyle \lambda } 2
cos(120
o) = 0, berlaku juga
λ {\displaystyle \lambda } 2 =
2 untuk rasio p/s. Dengan kata lain terdapat hibrid sp
2 seperti yang
diperkirakan dari daftar di atas.
molekul
hipervalen[6]
(Resonansi)
|
Jenis molekul
|
Utama kelompok
|
Logam transisi
|
AX2
|
-
|
Linear (180°)
|
|
AX3
|
-
|
Datar trigonal
(120°)
|
|
AX4
|
-
|
Tetrahedral
(109.5°)
|
|
Datar persegi (90°)
|
|
AX5
|
Bipiramida trigonal
(90°, 120°)
|
Bipiramida
trigonal,
Piramida persegi [7]
|
|
AX6
|
Oktahedral (90°)
|
Oktahedral (90°)
|
|
|
AX7
|
Bipiramida
pentagonal (90°, 72°)
|
Bipiramida
pentagonal,
oktahedral dengan sudut tambahan,
Piramida persegi dengan sudut tambahan [8]
|
|